Hukum Puasa Bagi Ibu Hamil dan Menyusui

 

Nyai Lulu Nafisah saat menyampaikan kajian puasa bagi ibu hamil dan menyusui


KMF.OR.ID - Kajian Ramadhan Bersama Keluarga Mathaliul Falah atau Karomah pada tahun 1444 Hijriyah kali ini diisi oleh Nyai Lulu Nafisah. 

Alumnus Mathaliul Falah yang sekarang menjadi wakil ketua II PC Fatayat NU Kabupaten Banyumas ini menyampaikan kajian dengan tema "Puasa bagi ibu hamil dan menyusui."

Kajian ini bisa disimak secara audio visual di Youtube PP KMF Official.

Berbahagialah kaum muslimin yang masih berkesempatan untuk menjalani puasa di bulan ramadhan tahun ini karena Allah ta'ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 183 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


dari ayat ini bisa kita pahami bahwa hukum dasar puasa Ramadan adalah wajib bagi setiap muslim. 

Akan tetapi tidak bisa kita pungkiri bahwa tidak semua muslim keadaan dan kondisinya mampu untuk menjalani puasa. 

Bisa karena sakit, lanjut usia, dalam perjalanan, atay mungkin wanita atau perempuan yang dalam kondisi mengandung dan menyusui. 

Pada kesempatan kali ini kita akan bersama-sama membahas puasa bagi ibu atau wanita yang mengandung dan menyusui.

Bagaimana puasa atau menjalani Ramadhan bagi wanita dalam kondisi mengandung dan menyusui? 

Pada prinsipnya jika ibu mengandung atau menyusui masih mampu untuk menjalani puasa maka akan lebih baik. 

Kerjakanlah puasa tersebut karena hukum asal melaksanakan puasa bagi perempuan hamil sama seperti pada muslim pada umumnya Ya sama-sama wajib. 

Akan tetapi kewajiban ini akan gugur jika dia memiliki wahm atau dugaan apabila dia tetap memaksakan diri untuk puasa akan membahayakan kesehatannya. 

Dalam hukum fiqih atau kaidah hukum fiqih bisa diterapkan dengan dua pendekatan: yang pertama adalah hakiki, yang kedua maknawi. 

Yang Hakiki itu pendekatan secara langsung, contohnya orang yang sakit. 

"Orang yang sakit betulan bukan yang sakit ringan gitu ya... misalkan orang sakit diabet jantung yang beberapa jam sekali harus mengkonsumsi obat jika tidak mengkonsumsi obat maka akan berbahaya. Nah orang dengan kondisi seperti ini boleh untuk tidak melaksanakan puasa," terang Lulu.

Kemudian yang kedua pendekatan maknawi pendekatan maknawi itu disebutkan illat atau apa sebab yang menjadikan dia tidak puasa. Nah masuk dalam kategori ini adalah ibu yang sedang mengandung atau menyusui. 

Pendapat ini juga sama seperti yang disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi Al Bantani dalam kitab nihayatul Zain, ketika beliau menjelaskan hukum puasa bagi orang yang sakit beliau menambahkan penjelasan, 

"Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani nelayan buruh perempuan hamil dan menyusui, meskipun mohon maaf kehamilannya itu hasil dari zina atau wati syubhat."

Nah beliau menjelaskan hukum puasa bagi orang wanita yang menyusui atau hamil itu terbagi menjadi tiga: 

Pertama, hukumnya makruh berpuasa Ramadhan apabila terdapat juga ia berpuasa bisa menimbulkan bahaya terhadap dirinya. 

Kedua, haram berpuasa Ramadhan apabila ada keyakinan atau diduga kuat jika puasanya itu akan menimbulkan bahaya yang berakibat pada kehilangan nyawa atau kehilangan fungsi tubuh tertentu. Nah jika wanita mengandung atau menyusui dalam kondisi yang seperti ini maka wajib bagi dia untuk tidak berpuasa atau haram hukumnya berpuasa. 


Ketiga, wajib tetap melaksanakan puasa jika wanita tersebut masih merasa mampu untuk menjalankan puasa. Untuk mengetahui apakah puasa perempuan yang sedang menyusui itu membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya dari keterangan medis atau dugaan yang kuat. 

Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh sayyid Sabiq dalam fiqhus sunnah, untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja, bisa melalui kebiasaan-kebiasaan sebelumnya keterangan dokter terpercaya atau dengan dugaan yang kuat. 

"Saya pun meyakini gitu, ibu-ibu perempuan di luar sana saya yakin punya punya batasan sendiri punya punya standar sendiri. Kita ini masih mampu nggak untuk menjalani puasa kalau memang masih mampu, maka lebih baik kerjakan, tapi kalau memang kita sudah memang betul-betul tidak merasa mampu atau merasa tidak mampu, ya sudah jangan dipaksakan, daripada itu nanti membahayakan." 

Nah tentu saja kebolehan perempuan hamil atau menyusui untuk tidak berpuasa, tentu wajib untuk mengganti atau mengqadhanya di kemudian hari. 

Maka dari itu sejalan dengan pendapat ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 184, 

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 
Allah memberikan kemudahan dan kemurahan kepada orang-orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit untuk tidak berpuasa dan dapat menggantinya di lain hari atau lebih kita kenal dengan qadha puasa. Mengqadha puasa itu hukumnya sama wajibnya dengan menjalani puasa itu sendiri. 

Karena orang hamil atau menyusui dikiaskan dengan orang sakit, maka konsekuensi untuk mengqadha juga ada. 

Terkait dengan hal ini ada beberapa penjabaran: yang pertama jika dia khawatir pada dirinya. Kedua khawatir pada dirinya sekaligus bayinya, maksudnya dia sendiri merasa tidak mampu untuk puasa yang juga berdampak pada kondisi bayinya maka untuk kedua hal ini ulama sepakat wanita tersebut boleh tidak menjalani puasa dan mengqadha di luar Ramadhan. Ketiga, akan tetapi jika dia merasa mampu untuk menjalani puasa namun khawatir dengan kondisi bayinya, biasanya hal ini terjadi pada ibu menyusui gitu ya mungkin takut asinya tidak cukup.

Jika wanita dalam kondisi ini, ada beberapa pendapat: pertama cukup qadha saja, pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Ibnu hambal. Yang kedua pendapatnya Imam Syafi'i mengatakan wajib Qada dan fidyah. Mengapa Qadha dan fidyah? menurut keterangan Syafi'iyah sebetulnya dia mampu puasa tapi tidak menjalani maka dia wajib qadha. 

Lalu mengapa harus ada Fidyah? Karena ketidakmampuannya untuk menjalani puasa disebabkan ada faktor eksternal yaitu ada bayi yang dikandung atau disusui, yang dikhawatirkan kondisinya apabila dia tetap memaksakan diri untuk puasa jadi ada illat bukan dari pribadinya tapi karena ada faktor lain yang menyebabkan dia tidak menjalani puasa. 


Yang ketiga pendapatnya Fidyah saja, akan tetapi semua ulama sepakat untuk wanita hamil dan menyusui tidak ada yang memberikan pendapat boleh tidak Qada. 

Jadi membayar Fidyah saja itu hanya diperuntukkan bagi orang yang sakit dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya atau orang yang lanjut usia. Nah diantara beberapa pendapat itu mana yang paling masyhur yang paling masyhur yang paling kuat tentu saja adalah pendapatnya Imam Syafi'i dan ini juga sebagai langkah ikhtiar kita.

Lalu Berapa jumlah yang harus dibayarkan atau diganti? Untuk qodlo puasa tentu saja sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan. Lalu untuk Fidyah berupa makanan pokok seberat 1 mud atau kurang lebih 675 gram beras atau dibulatkan menjadi 7 ons per hari.

Demikian penjelasan puasa bagi ibu hamil dan menyusui dari ibu Nyai Lulu Nafisah.

Lihat selengkapnya di: Puasa Bagi Ibu Hamil dan Menyusui