KMF Yogyakarta Gelar Acara Space Talk Dalam Rangka Harlah KMF Yogyakarta ke-23

 

Foto bersama Zeni Nafidhotun Nisak (Narasumber I), Hairus Salim (Narasumber II), Iqbal Ahnaf (Narasumber III), Mohammad Alfuniam (Sekjen PP KMF), Amanta Addihany Dzikril Kaffa (Ketua KMF Yogyakarta) 

Ahad, 23 Februari 2025, Keluarga Mathali’ul Falah Yogyakarta mengadakan Space Talk offline di KAFE basabasi Condongcatur, Kec. Depok, Sleman. Acara ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Harlah KMF Yogyakarta yang ke-23. Event offline ini merupakan kali kedua setelah Space Talk online yang sebelumnya diadakan di platform X pada 18 Februari lalu.

KMF Yogyakarta mengangkat tema Pendidikan Modern dan Budaya Khas Santri sebagai topik pembahasan utama. Tema tersebut dipilih tak lain sebagai upaya mengingat kembali dan sadar akan identitas sebagai masyarakat Pesantren. Secara khusus, sub tema yang diangkat adalah ‘Pendidikan Pesantren dalam Dunia Pendidikan Modern: Tujuan, Relevansi, dan Kesenjangan’.

Jika membaca kembali Nuansa Fiqh Sosial, KH. MA. Sahal Mahfudh, maka akan kita temukan pemikiran bernas beliau terkait ‘Pesantren, Pendidikan, dan Masyarakat’. Beliau mewanti-wanti umat agar waspada terhadap modernisasi di satu sisi sekaligus adaptif di sisi lain. Modernisasi selalu menuntut masyarakat untuk mengejar segala hal yang serba pragmatis, praktis, dan tentu serba lebih. Menurut beliau, preservasi nilai-nilai Islam dalam belantara modernitas adalah salah satu tugas institusi pesantren dalam mengawal proses transformasi sosial.

Seluruh ide dan gagasan Mbah Sahal dalam buku tersebut sebagian besar terefleksikan dalam diskusi kali ini. Acara ini diisi oleh narasumber sekaligus praktisi yang kompeten di bidang pendidikan. Ada Bpk. Hairus Salim selaku Direktur Eksekutif LKiS; Bpk. Iqbal Ahnaf selaku Ketua Yayasan Bumi Aswaja dan Pengelola Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta; dan Ibu Zeni Hafidhotun Nisak selaku perwakilan tim pengembangan kurikulum Mathali’ul Falah International Pesantren (MIP). Dewan Penasihat KMF Yogyakarta, bpk. Alfun Ni’am memberikan sambutan yang antusias atas perhelatan acara ini.

Ibu Zeni membuka diskusi dengan memaparkan ide tentang pendirian Mathali’ul Falah International Pesantren (MIP). Mulai dari awal mula diskusi para ‘founder’ hingga proyeksi spirit Nilai Dasar Shalih Akram (NDSA) sebagai landasan utama nilai-nilai pendidikan khas Mathali’ul Falah. Dalam penerapannya tentu NDSA tidak diterapkan begitu saja. “Nilai Dasar Shalih Akram dari Mathali’ul Falah diperluas pemaknaannya sesuai tantangan global.” Tutur Ibu Zeni.

Narasumber lain, Bpk. Iqbal Ahnaf mengajak audiens untuk merefleksikan kembali tentang upaya modernisasi pesantren. Bpk. Iqbal mengajukan beberapa pertanyaan untuk didiskuiskan: Apa yang dibutuhkan generasi pelajar hari ini? Seperti apa modern yang kita maksud? Apakah membludaknya santri pendaftar suatu pesantren bisa dijadikan tolak ukur modern? Apakah bahasa (Arab atau Inggris) sebagai medium universal di kancah international benar-benar dibutuhkan oleh para pelajar?

Bagi bpk. Iqbal, output para santri setelah lulus justru yang semestinya diperhatikan dan dijadikan tolak ukur. Modern bukan soal bahasa asing atau akademik. Dalam konteks ini, pesantren mustinya menyediakan sesuatu yang tidak disediakan oleh lembaga pendidikan umum.

Ada tiga poin yang dihighlight oleh bpk. Iqbal: Pertama, yang terpenting bagi para pelajar usia SMP-SMA adalah membangun identitas. Kedua, lulusan pesantren jangan hanya diproyeksikan sebagai agamawan saja. Ketiga, pembentukan karakter, baik dari soft skill ataupun hard skill. Soft skill yang dimaksud adalah mentalitas, karakter, kemampuan bersosial, dan semacamnya. Sedangkan hard skill adalah kompetensi-kompetensi teknis sesuai bidang yang ditempuh, semisal agamawan memerlukan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf, dan semacamnya.

Sementara itu, bpk. Hairus Salim menyampaikan pentingnya masyarakat pesantren agar dapat berpikir majemuk. Bpk. Hairus membuka dengan statement “Secara ideologis, istilah ‘pesantren’ tidak bisa dimonopoli oleh NU semata.” Ini adalah imbas dari puluhan ribu pesantren yang muncul dari ujung ke ujung.

Bahkan di NU sendiri, pesantren dan kulturnya beragam. Bpk. Hairus memberi permisalan pesantren di Kalimantan Selatan. Pesantren di sana tidak mengenal konsep kiai sebagai ‘owner’ pesantren. Di sana, istilah pesantren pun baru dikenal tahun 70-an. Sebelum itu, masyarakat hanya mengenal istilah ‘madrasah’.

Berangkat dari realita tersebut, bpk. Hairus menekankan akan pentingnya pendidikan nilai—alih alih melihat pesantren sebagai sistem an sich. Ia juga mewanti-wanti bahwa pendidikan nilai di pesantren lebih banyak yang sifatnya domestik dan personal. Kesadaran akan nilai-nilai publik dan kolektif masih minim.

Bagi bpk. Hairus, menjadi modern adalah memiliki insight (wawasan) yang luas. Meski semua hal yang bernuansa modern punya nilai yang berbeda, menjadi modern meniscayakan kita untuk memilki pikiran yang majemuk. Sebagaimana Gus Dur yang menegaskan bahwa pesantren jangan diposisikan sebagai subkultur.

Dengan demikian pelajaran nilai perlu ditingkatkan lagi ke hal-hal yang kolektif. NDSA juga harus mampu menciptakan masyarakat yang maslahah. Hal ini dapat diwujudkan dengan memanfaatkan ilmu-ilmu humaniora dan NDSA sebagai fondasi daripada ilmu-ilmu lain yang bersifat teknis.

Setelah pemaparan materi, acara ini dilanjutkan dengan sesi sharing, diskusi, dan tanya jawab dari para audiens. Sesi ini berlangsung cukup intens. Salah satu peserta menanyakan “Apakah penggaungan nilai-nilai yang para narasumber sampaikan hanyalah dalih dari ketidakmampuan akan hard skill?” Bpk. Iqbal mengakui posibilitas fenomena tersebut. Namun, ibu Zeni menekankan: bahwa untuk mewujudkan semua itu “...kebanggaan atas nilai-nilai pesantren tentunya harus dibarengi dengan kompetensi yang memadai.”

Sebelum acara ditutup, beberapa santri dari Pesantren Bumi Cendikia (BC) Yogyakarta yang turut hadir dalam acara ini juga urun sharing terkait pengalamannya sebagai santri yang mendapat kesempatan rihlah ke Jepang. Salah satu perwakilan KMF Yogyakarta juga turut menanggapi dengan membagikan pengalaman kreatifnya dalam menulis buku.

Penulis: Ah. Haidar Rofif (Divisi PSDM KMF Yeka)