Imam Aziz, Lelaki Pendiam Penyembuh Luka

KH. M. Imam Aziz & KH. Muharor Afif dalam acara Temu Alumni & Khataman Kubro Mathole' Fest 2025

Oleh: A.S. Laksana


Pada 1997, dalam status pengangguran terselubung setelah tahun ketiga pembredelan tabloid DeTIK, Saifullah Yusuf mengajak saya ke Rembang, menginap semalam di sana, dan keesokan harinya kami berkunjung ke pondok KH Sahal Mahfudh di Kajen, Pati, menyusul Imam Aziz dan rombongan dari Jogja yang pada hari sebelumnya juga ke Rembang. O, ini orangnya, pikir saya. Ia sudah sangat terkenal di kalangan aktivis, sudah mendirikan penerbitan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) sejak 1992, dan itu kali pertama saya melihatnya. Imam Aziz diam, tenang, dan terlihat selalu berpikir, dan saya sibuk memikirkan cara untuk memulai percakapan dengannya.


Kami duduk melingkar siang itu dengan Kiai Sahal sebagai matahari, dan sebelum saya menemukan cara untuk mengajak Imam bicara, Saifullah sudah mengajukan pertanyaan: “Mas Imam ini apa kelemahannya, Yai?”


“Ora ono,” kata Kiai Sahal. “Imam kuwi lurus, pinter, mikirke wong cilik, tur ora duwe wedi. Mung karo wong wedhok sing dekne ora wani.”


Tawa kami meledak seketika, seolah-olah kami semua mengungguli Imam dalam urusan berpacaran atau dalam memahami perempuan, dan kami akan tertawa lagi dengan ledakan yang sama setiap kali Kiai Sahal menyinggung “kelemahan” Imam. Selama dua jam Imam tidak berbunyi sama sekali. Ia duduk di samping Kiai Sahal dan senyum-senyum pasrah saja dijadikan bahan tertawaan dan saya tetap memikirkan bagaimana cara membuka percakapan dengan Imam jika kesempatannya ada.


Akhirnya saya menemukan bahan. Kedung Ombo. Saya bisa menggunakan topik Kedung Ombo untuk mulai bicara dengan Imam, tentang pembangunan waduk yang menenggelamkan 37 desa di wilayah kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan, tentang intimidasi terhadap warga, tentang orang-orang yang dicap PKI karena menolak kehilangan tanah mereka (pemerintahan Soeharto senang mem-PKI-kan warga yang mempertahankan diri dari penggusuran).


Kedung Ombo dan stigma PKI terhadap warga membawa ingatan Imam ke pengalaman masa kecilnya. Itu percakapan pertama saya dengannya, dan itu sekaligus percakapan terakhir. Saya hanya sekali itu bertemu dengannya.


*


Imam Aziz lahir di Pati, Jawa Tengah, dan baru berusia tiga tahun ketika peristiwa 1965 terjadi. Kakeknya melarang radio dan koran masuk ke rumah, tetapi ayahnya, KH Abdul Aziz Yasin, secara sembunyi-sembunyi membaca potongan koran bekas pembungkus barang dari pasar. Ayahnya juga satu-satunya orang di desanya yang berani mengundang seorang mantan anggota PKI untuk berdoa bersama di rumah mereka setiap hari. Pengalaman di tahun-tahun selanjutnya mengajarkan kepada Imam bahwa label “PKI” kepada tetangganya sudah cukup untuk membuat orang itu terkucil seumur hidup.


Ayahnya kemudian mengirimkannya ke Kajen untuk menjadi santri Kiai Sahal Mahfudh, dan itu tampaknya keputusan terbaik bagi si anak. Imam Aziz menjadi santri yang paling dekat dengan gurunya, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam pemikiran, dan dialah yang kelak menerjemahkan pemikiran Kiai Sahal Mahfudh ke dalam gerakan untuk mendampingi orang-orang lemah yang terpinggirkan (mustad’afin). 


Kiai Sahal mendorong pemaknaan fikih sebagai etika sosial yang membimbing masyarakat menuju kemaslahatan, dalam bentuk lembaga dan kebijakan; Imam menjadikan pemikiran gurunya itu sebagai dasar untuk membangun advokasi, pemberdayaan rakyat, dan ia mengupayakannya dengan menjadikan komunitas alumni pesantren sebagai jaringan perubahan sosial. Melalui semua itu, ia menghidupkan fikih sebagai kekuatan yang benar-benar bekerja di tengah masyarakat. 


Ikhtiar guru dan murid itu menemukan ruang yang lapang di bawah kepemimpinan Gus Dur di PBNU. Gus Dur, dengan langkah brilian untuk membawa para pemikir dari pesantren ke tengah, agar mereka tidak hanya berkutat di pinggiran dan terpisah dari masalah-masalah sekuler kemasyarakatan. Ini membuka pintu bagi pemikiran progresif dan menciptakan ekosistem yang memungkinkan gagasan-gagasan seperti fikih sosial dan advokasi rakyat berkembang.


Panggung yang dibangun oleh Gus Dur itulah yang memungkinkan tumbuhnya generasi muda NU yang lebih percaya diri dalam menjelajahi pemikiran-pemikiran baru, membuka diri terhadap wacana keadilan sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi, tanpa merasa harus melepaskan akar pesantren mereka. Di atas panggung itu, anak-anak muda NU seperti Imam Aziz menemukan ruang untuk bergerak: mendirikan lembaga, menerbitkan buku, membangun jaringan, dan mengaktualisasikan diri dalam cara yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya.


Selepas dari Kajen, Imam melanjutkan studi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di kota ini ia bertemu dan bergaul dengan banyak cara berpikir. Ia menjadi aktivis mahasiswa, memimpin PMII cabang Yogyakarta, memimpin majalah mahasiswa, dan terlibat langsung dalam advokasi petani Kedung Ombo. Imam turun ke desa, tinggal bersama warga, mencatat keluhan mereka, dan menuliskannya—hal yang akan ia ulangi nantinya dengan warga Kendeng ketika mereka berhadapan dengan pabrik semen, dan mengunjungi desa Wadas untuk mendengarkan langsung keluhan warga, dan menyuarakan penolakan terhadap kekerasan dan intimidasi aparat. Ia menegaskan bahwa menjaga hak milik rakyat adalah kewajiban syar’i, dan pembangunan tidak boleh mengorbankan rakyat.


*


Panggilan terbesar Imam, yang berakar dari pengalaman masa kecilnya, adalah menyembuhkan luka bangsa akibat tragedi 1965, ketika ratusan ribu orang tewas dan jutaan lainnya dikucilkan karena tuduhan keterlibatan dengan PKI. Sebagai nahdliyin, ia menyadari bahwa NU terlibat dalam kekerasan 1965, dan ia ingin NU memimpin rekonsiliasi. Pada 2000, dengan restu Kiai Sahal Mahfudh, ia mendirikan Syarikat, sebuah jaringan anak muda NU untuk mengungkap kebenaran dan memulihkan hak-hak sipil korban.


Dari 2001 hingga 2003, Syarikat menggali fakta dan cerita-cerita di 35 kabupaten di Jawa dan Bali, mewawancarai korban dan pelaku, dan itu proses yang sangat emosional. Sering ada anggota tim yang pingsan mendengar kisah-kisah tragis para korban. Pada 2003, Imam menggelar forum bersejarah di Jogjakarta untuk mempertemukan korban dan pelaku, untuk “mengangkat beban korban dengan pengakuan pelaku, memulihkan komunitas melalui rekonsiliasi.” 


Ia melakukannya karena percaya bahwa demokrasi tidak akan pernah kokoh selama dendam dan diskriminasi masih ada. Untuk menyebarluaskan visi rekonsiliasinya, ia bersama teman-teman di Syarikat menerbitkan RUAS (Ruang Umat untuk Advokasi Sosial), majalah yang lantang dalam mengangkat isu-isu genosida 1965, termasuk menyuarakan pembongkaran arsip, stigma eks tahanan politik, dan peran militer dalam pembantaian. Kebijakan redaksionalnya didasari fikih sosial untuk memberikan perlindungan jiwa dan perlindungan martabat, sebagai landasan etis untuk membela korban dan mendorong rekonsiliasi. Maka, di sana pembaca bisa menemukan catatan-catatan keluarga penyintas—petani, guru, seniman, dan siapa saja yang menjadi korban—sebagai bagian dari upaya untuk memulihkan ingatan kolektif (yang ditindas selama rezim Orde Baru), sebagai langkah penting untuk membuka ruang advokasi. 


Di lapangan, ia mengorganisir pertunjukan musik dan teater untuk menyatukan dua pihak yang saling bermusuhan. Dan ada kabar baik dari Blitar. Di sana para korban dan pelaku yang telah berdamai membangun sistem air bersih bersama, sebuah simbol bagi harapan akan tercapainya rekonsiliasi.


*


Masyarakat internasional menghargai upayanya. Pada 2003, ia terpilih menjadi anggota Ashoka Fellowship, sebuah organisasi global yang mendukung wirausahawan sosial di berbagai negara. Imam Aziz diangkat sebagai anggota karena ia memelopori model rekonsiliasi berbasis warga untuk menangani dampak panjang tragedi 1965. Pada 2010, ia mendapatkan penghargaan dari Ara Pacis Peace, lembaga yang berbasis di Roma dan berfokus pada rekonsiliasi, martabat manusia, dan keadilan sosial. Dan pada 2015, ia menerima Jeju 4.3 Peace Prize dari Yayasan Perdamaian Jeju 4.3 di Korea Selatan.


Penghargaan Jeju 4.3 diberikan sebagai ingatan terhadap genosida paling brutal dan berskala terbesar yang pernah dilakukan dalam sejarah Korea modern. Ribuan orang tewas dalam pertempuran antara berbagai faksi di pulau Jeju atau dieksekusi oleh tentara Korea Selatan, sepanjang April 1948 hingga Mei 1949. 


"Insiden Jeju dan tragedi 1965 serupa,” kata Imam. “Bedanya, pemerintah Korea telah meminta maaf kepada keluarga korban, bahkan membangun taman peringatan untuk menghormati para korban dan keluarga mereka. Dengan begitu, martabat orang Jeju telah diangkat. Kita belum melihat hal itu di sini.”


Sepulang dari Jeju, ia sepertinya mendapatkan gagasan untuk inisiatif yang serupa. Pada 2016, Imam menggelar Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, dan dalam kedudukannya saat itu sebagai salah satu ketua PBNU, ia menyampaikan bahwa NU, dan juga ormas-ormas lain, dilibatkan oleh tentara karena jumlah tentara yang terbatas untuk melawan PKI. Dalam kesempatan itu ia mewakili NU menyampaikan penyesalan. “Jika NU membuat korban menderita, kami mohon maaf,” katanya.


Namun pemerintah tidak mengikutinya. Melalui Luhut Binsar Panjaitan, kita mendengar pernyataan bahwa pemerintah “tidak berpikir untuk meminta maaf”, dan bahwa pemerintah tidak merasa bersalah sebab “kami tahu apa yang kami lakukan adalah yang terbaik untuk bangsa.” 


Bagi Imam, itu adalah pengkhianatan terhadap keadilan.


K.H. Muhammad Imam Aziz meninggal pada Sabtu dinihari, 12 Juli 2025, pada usia 63 tahun. Ia meninggalkan seorang istri, Rindang Farihah, dan empat anak. Itu berarti ia tidak memiliki lagi hal yang ditakutkan, yang membuat kami menertawainya, 28 tahun lalu, dalam dua jam percakapan dengan Kiai Sahal.